Rabu, 19 Desember 2012

ETIKOLEGAL DALAM PRAKTIK KEBIDANAN :INFORME CONCENT


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Informed concent bukan hal yang baru dalam bidang pelayanan kesehatan. Informed concent telah diakui sebagai langkah yang paling penting untuk mencegah terjadinya konflik dalam masalah etik.
Informed choice berarti membuat pilihan setelah mendapatkan penjelasan tentang alternatif asuhan yang akan dialaminya, pilihan (choice) harus dibedakan dari persetujuan (concent). Persetujuan penting dari sudut pandang bidan, karena itu berkaitan dengan aspek hukum yang memberikan otoritas untuk semua prosedur yang dilakukan oleh bidan. Sedangkan pilihan (choice) lebih penting dari sudut pandang wanita (pasien)sebagai konsumen penerima jasa asuhan kebidanan.
Tujuannya adalah untuk mendorong wanita memilih asuhannya.
Peran bidan tidak hanya membuat asuhan dalam manajemen asuhan kebidanan tetapi juga menjamin bahwa hak wanita untuk memilih asuhan dan keinginannya terpenuhi. Hal ini sejalan dengan kode etik internasional bidan yang dinyatakan oleh ICM 1993, bahwa bidan harus menghormati hak wanita setelah mendapatkan penjelasan dan mendorong wanita untuk menerima tanggung jawab untuk hasil dari pilihannya.

B.  Masalah
Masalah yang ingin dibahas dalam penulisan makalah ini adalah bagaimana tentang penerapan etika dalam Informed Consent?

C.  Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah agar dapat mendeskripsikan tentang penerapan etika dalam Informed Consent
D.  Manfaat
Manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah :
a.    Penulis dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang penerapan etika dalan Informed Consent
b.    Pembaca dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang penerapan etika dalan Informed Consent























BAB II
 PEMBAHASAN

A.  Pengertian
Informed concent berasal dari dua kata, yaitu informed (telah mendapat penjelasan / keterangan / informasi) dan concent (memberikan persetujuan / mengizinkan). Informed concent adalah suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapatkan informasi.
Menurut Veronika Komalawati pengertian informed concent adalah suatu kesepakatan atau persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah pasien mendapatkan informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi
Dalam Permenkes no 585 tahun 1989 (pasal 1), Informed concent diatfsirkan sebagai persetujuan tindakan medis adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang dilakukan terhadap pasien tersebut.

B.  Dasar Hukum Informed Consent
Di Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal, ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed consent” melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent”. Hal ini tidak berarti para dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan “informed consent” karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada pelaksanaan operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan.
Baru sekitar tahun 1988 di Indonesia ada peraturan dan pedoman bagi para dokter untuk melaksanakan konsep informed consent dalam praktek sehari-hari yakni berupa fatwa PB. IDI No. 319/PB/A.4/88 tentang informed consent, yang kemudian diadopsi isinya hampir sebagian besar oleh Permenkes No. 585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik.
Dengan adanya peraturan Permenkes No.585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik, maka peraturan tersebut menjadi aturan pelaksanaan dalam setiap tindakan medis yang berhubungan dengan persetujuan dan pemberian informasi terhadap setiap tindakan medik. Peraturan tersebut menyebutkan bahwa setiap tindakan medik harus ada persetujuan dari pasien yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Permenkes No.585 Tahun 1989, yang berbunyi “semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan”.
Adanya pengaturan mengenai informed consent yang terdapat dalam Permenkes No.585 Tahun 1989 tersebut juga diperkuat dengan adanya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang terdapat pada Pasal 45 ayat (1) sampai (6) yang berbunyi: Pasal 45 ayat
(1): Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gig iyang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) : Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.
(3) : Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(4) : Persetujuan sebagaimana dimaksud padaf ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan.
(5) : Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
(6) : Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (30), ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri
Dari Ketentuan Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran tersebut terutama pada pasal 45 ayat (6) menyebutkan bahwa pengaturan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran (informend consent) diatur oleh peraturan menteri yaitu Permenkes No.585 Tahun 1989.

C.  Bentuk Informed Consent
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (petugas kesehatan) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
1.    Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);
2.    Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
3.    Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.


Tujuan Informed Consent:
1.    Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan petugas kesehatan yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya.
2.    Memberi perlindungan hukum kepada petugas kesehatan terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 )

D.  Elemen Informed Consent
Ada tiga element yang membentuk Informed Consent, yaiutu :
1. Threeshold elements
Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap). Kompeten disini diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis. Kompetensi manusia untuk membuat keputusan sebenarnya merupakan suaut kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat berbagai tingkat kompetensi membuat keputusan tertentu (keputusan yang reasonable berdasarkan alasan yang reasonable).
Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa, sadar dan berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah apabila mempunyai penyakit mental sedemikian rupa sehingga kemampuan membuat keputusan menjadi terganggu.
2. Information elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan understanding (pemahaman).  Pengertian ”berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa sehingga pasien dapat mencapai pemahaman yang adekuat. Dalam hal ini, seberapa ”baik” informasi harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3 standar, yaitu :
a.    Standar Praktik Profesi
Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria ke-adekuat-an informasi ditentukan bagaimana biasanya dilakukan dalam komunitas tenaga medis. Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut di atas tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial setempat, misalnya resiko yang ”tidak bermakna” (menurut medis) tidak diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi sosial pasien.
b.    Standar Subyektif
Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat keputusan. Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal waktu/kesempatan) bagi profesional medis memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien.
c.    Standar pada reasonable person
Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan umumnya orang awam.
3. Consent elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari ”tekanan” yang dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan ”dibiarkan” apabila tidak menyetujui tawarannya.
Consent dapat diberikan :
1.    Dinyatakan (expressed)
2.    Dinyatakan secara lisan
3.    Dinyatakan secara tertulis, pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti di kemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasif atau yang beresiko mempengaruhi kesehatan penderita secara bermakna. Permenkes tentang persetujuan tindakan medis menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif harus memperoleh persetujuan tertulis.
4.    Tidak dinyatakan (implied), Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya. Meskipun consent jenis ini tidak memiliki bukti, namun consent jenis inilah yang paling banyak dilakukan dalam praktik sehari-hari. Misalnya adalah seseorang yang menggulung lengan bajunya dan mengulurkan lengannya ketika akan diambil darahnya.

E.  Etik Dalam Informed Consent
Langkah-langkah pencegahan masalah etik, dalam pencegahan konflik etik dikenal ada 4, yang urutannya adalah sebagai berikut :
1) Informed concent
2) Negosiasi
3) Persuasi
4) Komite etik
Informed concent merupakan butir yang paling penting, kalau informed concent gagal, maka butir selanjutnya perlu dipergunakan secara berurutan sesuasi dengan kebutuhan.
Informed concent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien/walinya yang berhak terhadap bidan untuk melakukan suatu tindakan kebidanan terhadap pasien sesudah memperoleh informasi lengkap dan yang dipahaminya mengenai tindakan itu.
Ada dua dimensi dalam proses informed concent :
a.    Dimensi yang menyangkut hukum
dalam hal ini informed concent merupakan perlindungan bagi pasien terhadap bidan yang berperilaku memaksakan kehendak, dimana proses informed concent sudah memuat :
1. Keterbukaan informasi dari bidan kepada pasien
2. Informasi tersebut harus dimengerti pasien
3. Memberikan kesempatan kepada pasien untuk memberikan
kesempatan yang baik
b.    Dimensi yang meyangkut etik
Dari proses informed concent terkandung nilai etik sebagai berikut :
1.      Menghargai kemandirian/otonomi pasien
2.      Tidak melakukan intervensi melainkan membantu pasien bila dibutuhkan/diminta sesuai dengan informasi yang telah dibutuhkan
3.      Bidan menggali keinginan pasien baik yang dirasakan secara subjektif maupun sebagai hasil pemikiran yang rasional
Alur yang senantiasa berurutan, pada tahap pertama bidan dengan pasien dihubungkan dengan suatu dialog, forum informasi (informed), kemudian terjadi pilihan (choice) dan pengambilan keputusan. Terdapat 2 keluaran pengambilan keputusan:
1.      Menyetujui sehingga menandatangani form persetujuan
2.      Menolak dengan menandatangani form penolakan.
Sehingga baik persetujuan maupun penolakan sebaiknya dituangkan dalam bentuk tertulis, jika terjadi permasalahan, maka secara hukum bidan mempunyai kekuatan hukum karena mempunyai bukti tertulis, jika terjadi permasalahan, maka secara hukum bidan mempunyai kekuatan hukum karena mempunyai bukti tertulis yang menunjukkan bahwa prosedur pemberian informasi telah dilalui dan keputusan ada di tangan klien untuk menyetujui atau menolak. Hal ini sesuai dengan hak pasien untuk menentukan diri sendiri, yaitu pasien berhak menerima atau menolak tindakan atas dirinya setelah diberi penjelasan sejelas-jelasnya.
Pelaksanaan informed consent cukup sulit terbukti masih ditemukan beberapa masalah yang dihadapi oleh pihak bidan atau rumah sakit atau rumah bersalin, yaitu:
1.      Pengertian kemampuan secara hukum dari orang yang akan menjalani tindakan, serta siapa yang berhak menandatangani surat persetujuan dimana harus ditentukan peraturan mengenai batas usia, kesadaran, kondisi mentalnya dan sebagainya. Sampai sejauh mana orang yang sedang merasa kesakitan, seperti misalnya ibu inpartu mampu menetapkan pilihan atau berkonsentrasi terhadap penjelasan yang diberikan. Apakah orang dalam keadaan sakit mampu secara hukum menyatakan persetujuan.
2.      Masalah wali yang sah. Timbul apabila pasien atau ibu tidak mampu secara hukum untuk menyatakan persetujuannya.
3.      Masalah informasi yang diberikan yaitu seberap jauh informasi dianggap telah dijelaskan dengan cukup jelas, tetapi juga tidak terlalu terinci sehingga dianggap menakut-nakuti.
4.      Dalam memberikan persetujuan, apakah diperlukan sanksi, apabila diperlukan apakah sanksi tersebut perlu menandatangani formulir yang ada. Bagaimana menentukan sanksi.
5.      Dalam keadaan darurat, misalnya kasus perdarahan pada ibu hamil, dan keluarganya belum dapat dihubungi, dalam keadaan seperti ini siapakah yang berhak memberikan persetujuan, sementara pasien perlu segera ditolong. Bagaimana perlindungan hukum kepada si bidan yang melakukan tindakan atas dasar keadaan darurat dan dalam upaya penyelamatan jiwa ibu dan janinnya.
Akhirnya bahwa manfaat informed consent adalah untuk mengurangi keadaan malpraktek dan agar bidan lebih berhati-hati dan alur pemberian informasi benar-benar dilakukan dalam memberikan pelayanan kebidanan.





F.   Contoh Informed Consent Dalam Tindakan Persalinan

Bidan Praktek Swasta................
Alamat.......................................
Telp...........................................
Kode Pos...................................


PERSETUJUAN TINDAKAN PERTOLONGAN PERSALINAN
Nomor:........
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama                                      :
Tempat/Tinggal Lahir              :
Alamat                                                :
Kartu Identitas                                    :
Pekerjaan                                 :

Selaku individu yang meminta bantuan pada fasilitas kesehatan ini, bersama ini menyatakan kesediaannya untuk dilakukan tindakan dan prosedur pertolongan persalinan pada diri saya berikan setelah mendapat penjelasan dari bidan yang berwenang di fasilitas kesehatan tersebut diatas, sebagaimana berikut ini:
1.    Diagnosis kebidanan..............................................................................
2.    Untuk melakukan pertolongan persalinan, perlu dilakukan tindakan...............................................................................................
3.    Setiap tindakan kebidanan yang dipilih bertujuan untuk kesejahteraan dan keselamatan ibu dan janin. Namun demikian, sebagaimana telah dijelaskan terdahulu, setiap tindakan mempunyai resiko, baik yang telah diduga maupun yang tidak diduga sebelumnya.
4.    Penolong telah pula menjelaskan bahwa ia akan berusaha sebaik mungkin untuk melakukan tindakan pertolongan persalinan dan menghindarkan kemungkinan risiko, agar diperoleh hasil asuhan kebidanan yang optimal.
5.    Semua penjelasan tersebut diatas, sudah saya maklumi dan dijelaskan dengan kalimat yang jelas dan saya mengerti sehingga saya memaklumi arti tindakan atau asuhan kebidanan yang saya alami. Dengan demikian terjadi kesalah pahaman diantara pasien dan bidan tentang upaya serta tujuan, untuk mencegah timbulnya masalah hukum dikemudian hari.
Apabila dalam keadaan dimana saya tidak mampu untuk memperoleh penjelasan dan memberi persetujuan maka saya menyerahkan mandat kepada suami atau wali saya yaitu:
Nama                                           :..........................................
Tempat/Tanggal Lahir                  :..........................................
Alamat                                         :..............................................
Kartu Identitas                            :..............................................
Pekerjaan                                     :..............................................

Demikian agar saya maklum, surat persetujuan ini saya buat tanpa paksaan dari pihak manapun dan agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

...............................,.................
Bidan Yang Memberi Persetujuan                                                      Pasien

(............................)                                                                  (...............................)





BAB III
PENUTUP

A.  Simpulan
Informed concent merupakan butir yang paling penting, sebagai bukti persetujuan ataupun penolakan terhadap tindakan yang akan dilakukan.
Melalui Informed concent sesuai dengan hak pasien untuk menentukan diri sendiri, yaitu pasien berhak menerima atau menolak tindakan atas dirinya setelah diberi penjelasan sejelas-jelasnya. baik klien maupun keluarga merasa dilibatkan dalam penentuan pengambilan keputusan. Sehingga baik persetujuan maupun penolakan sebaiknya dituangkan dalam bentuk tertulis, jika terjadi permasalahan, maka secara hukum petugas kesehatan mempunyai kekuatan hukum karena mempunyai bukti tertulis, yang menunjukkan bahwa prosedur pemberian informasi telah dilalui dan keputusan ada di tangan klien untuk menyetujui atau menolak.  

B.  Saran
Demi memajukan keterampilan dan pengetahuan seorang bidan, harus terus meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam berbagai aspek agar dapat membuat keputusan klinis dan secara teoritis agar dapat memberikan pelayanan yang aman dan memuaskan kliennya. Maka informed consent harus di lakukan kepada klien sebagai persetujuan klien atas tindakan yang akan dilakukan atas dirinya.







DAFTAR PUSTAKA

Buku Quo Vadis Kliniko Mediko Legal Indonesia dan Buku Penyelenggaraan Praktik Kedokteran Yang Baik di Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar