BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Informed concent bukan hal yang baru dalam bidang
pelayanan kesehatan. Informed concent telah diakui sebagai langkah yang paling
penting untuk mencegah terjadinya konflik dalam masalah etik.
Informed
choice berarti membuat pilihan setelah mendapatkan penjelasan tentang
alternatif asuhan yang akan dialaminya, pilihan (choice) harus dibedakan dari
persetujuan (concent). Persetujuan penting dari sudut pandang bidan, karena itu
berkaitan dengan aspek hukum yang memberikan otoritas untuk semua prosedur yang
dilakukan oleh bidan. Sedangkan pilihan (choice) lebih penting dari sudut
pandang wanita (pasien)sebagai konsumen penerima jasa asuhan kebidanan.
Tujuannya adalah untuk mendorong wanita memilih asuhannya.
Tujuannya adalah untuk mendorong wanita memilih asuhannya.
Peran
bidan tidak hanya membuat asuhan dalam manajemen asuhan kebidanan tetapi juga
menjamin bahwa hak wanita untuk memilih asuhan dan keinginannya terpenuhi. Hal
ini sejalan dengan kode etik internasional bidan yang dinyatakan oleh ICM 1993,
bahwa bidan harus menghormati hak wanita setelah mendapatkan penjelasan dan
mendorong wanita untuk menerima tanggung jawab untuk hasil dari pilihannya.
B. Masalah
Masalah
yang ingin dibahas dalam penulisan makalah ini adalah bagaimana tentang
penerapan etika dalam Informed Consent?
C. Tujuan
Tujuan
yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah agar dapat
mendeskripsikan tentang penerapan etika dalam Informed Consent
D. Manfaat
Manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan makalah
ini adalah :
a.
Penulis dapat memperoleh pengetahuan dan
pemahaman tentang penerapan etika dalan Informed Consent
b.
Pembaca dapat memperoleh pengetahuan dan
pemahaman tentang penerapan etika dalan Informed Consent
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Informed
concent berasal dari dua kata, yaitu informed (telah mendapat penjelasan /
keterangan / informasi) dan concent (memberikan persetujuan / mengizinkan).
Informed concent adalah suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapatkan
informasi.
Menurut
Veronika Komalawati pengertian informed concent adalah suatu kesepakatan atau
persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya
setelah pasien mendapatkan informasi dari dokter mengenai upaya medis yang
dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala
resiko yang mungkin terjadi
Dalam Permenkes
no 585 tahun 1989 (pasal 1), Informed concent diatfsirkan sebagai persetujuan
tindakan medis adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarganya atas
dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang dilakukan terhadap pasien
tersebut.
B. Dasar Hukum Informed Consent
Di
Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal, ditandai
dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed
consent” melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian
dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan
Tindakan Medik atau Informed Consent”. Hal ini tidak berarti para dokter dan
tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan “informed
consent” karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada pelaksanaan operatif,
dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau keluarganya
sebelum tindakan operasi itu dilakukan.
Baru sekitar tahun 1988 di Indonesia ada peraturan dan pedoman bagi para dokter untuk melaksanakan konsep informed consent dalam praktek sehari-hari yakni berupa fatwa PB. IDI No. 319/PB/A.4/88 tentang informed consent, yang kemudian diadopsi isinya hampir sebagian besar oleh Permenkes No. 585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik.
Baru sekitar tahun 1988 di Indonesia ada peraturan dan pedoman bagi para dokter untuk melaksanakan konsep informed consent dalam praktek sehari-hari yakni berupa fatwa PB. IDI No. 319/PB/A.4/88 tentang informed consent, yang kemudian diadopsi isinya hampir sebagian besar oleh Permenkes No. 585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik.
Dengan
adanya peraturan Permenkes No.585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan
medik, maka peraturan tersebut menjadi aturan pelaksanaan dalam setiap tindakan
medis yang berhubungan dengan persetujuan dan pemberian informasi terhadap
setiap tindakan medik. Peraturan tersebut menyebutkan bahwa setiap tindakan
medik harus ada persetujuan dari pasien yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1)
Permenkes No.585 Tahun 1989, yang berbunyi “semua tindakan medik yang akan
dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan”.
Adanya
pengaturan mengenai informed consent yang terdapat dalam Permenkes No.585 Tahun
1989 tersebut juga diperkuat dengan adanya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran yang terdapat pada Pasal 45 ayat (1) sampai (6) yang
berbunyi: Pasal 45 ayat
(1): Setiap
tindakan kedokteran atau kedokteran gig iyang akan dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) :
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap.
(3) : Penjelasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:
a. diagnosis dan
tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan
medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan
lain dan risikonya;
d. risiko dan
komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap
tindakan yang dilakukan.
(4) :
Persetujuan sebagaimana dimaksud padaf ayat (2) dapat diberikan baik secara
tertulis maupun lisan.
(5) : Setiap
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus
diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
(6) : Ketentuan
mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (30), ayat (4) dan ayat (5)
diatur dengan Peraturan Menteri
Dari
Ketentuan Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran tersebut
terutama pada pasal 45 ayat (6) menyebutkan bahwa pengaturan mengenai tata cara
persetujuan tindakan kedokteran (informend consent) diatur oleh peraturan
menteri yaitu Permenkes No.585 Tahun 1989.
C. Bentuk Informed Consent
Secara umum bentuk persetujuan yang
diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa
tindakan medis (petugas kesehatan) untuk melakukan tindakan medis dapat
dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
1.
Persetujuan Tertulis, biasanya
diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko besar, sebagaimana
ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK
PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang
mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis,
setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang
perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi
informed consent);
2.
Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan
untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko
tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
3.
Persetujuan dengan isyarat, dilakukan
pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa
tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui
tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
Tujuan Informed
Consent:
1.
Memberikan perlindungan kepada pasien
terhadap tindakan petugas kesehatan yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara
medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa sepengetahuan
pasiennya.
2.
Memberi perlindungan hukum kepada petugas
kesehatan terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur medik
modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat suatu
resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 )
D. Elemen Informed Consent
Ada tiga element yang membentuk Informed Consent, yaiutu :
1. Threeshold elements
Elemen ini
sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke
arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap).
Kompeten disini diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis.
Kompetensi manusia untuk membuat keputusan sebenarnya merupakan suaut
kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki kompetensi hingga memiliki
kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat berbagai tingkat kompetensi membuat
keputusan tertentu (keputusan yang reasonable berdasarkan alasan yang reasonable).
Secara hukum
seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa, sadar dan berada
dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai
usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan
mental yang dianggap tidak kompeten adalah apabila mempunyai penyakit mental
sedemikian rupa sehingga kemampuan membuat keputusan menjadi terganggu.
2. Information elements
Elemen ini
terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure
(pengungkapan) dan understanding
(pemahaman). Pengertian ”berdasarkan pemahaman yang
adekuat membawa konsekuensi kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure)
sedemikian rupa sehingga pasien dapat mencapai pemahaman yang adekuat. Dalam
hal ini, seberapa ”baik” informasi harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat
dari 3 standar, yaitu :
a. Standar Praktik Profesi
Bahwa kewajiban
memberikan informasi dan kriteria ke-adekuat-an informasi ditentukan bagaimana biasanya
dilakukan dalam komunitas tenaga medis. Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa
kebiasaan tersebut di atas tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial setempat,
misalnya resiko yang ”tidak bermakna” (menurut medis) tidak diinformasikan,
padahal mungkin bermakna dari sisi sosial pasien.
b. Standar Subyektif
Bahwa keputusan
harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi,
sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam
membuat keputusan. Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal waktu/kesempatan)
bagi profesional medis memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh
pasien.
c. Standar pada reasonable person
Standar ini
merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup
apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan umumnya orang awam.
3. Consent elements
Elemen ini
terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness
(kesukarelaan, kebebasan) dan authorization
(persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan,
misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari ”tekanan” yang
dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan ”dibiarkan” apabila tidak
menyetujui tawarannya.
Consent
dapat diberikan :
1. Dinyatakan (expressed)
2. Dinyatakan
secara lisan
3. Dinyatakan
secara tertulis, pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti di
kemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasif atau yang beresiko
mempengaruhi kesehatan penderita secara bermakna. Permenkes tentang persetujuan
tindakan medis menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif harus memperoleh
persetujuan tertulis.
4. Tidak
dinyatakan (implied), Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan
maupun tertulis, namun melakukan tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan
jawabannya. Meskipun consent jenis ini tidak memiliki bukti, namun consent
jenis inilah yang paling banyak dilakukan dalam praktik sehari-hari. Misalnya
adalah seseorang yang menggulung lengan bajunya dan mengulurkan lengannya
ketika akan diambil darahnya.
E. Etik Dalam Informed Consent
Langkah-langkah
pencegahan masalah etik, dalam pencegahan konflik etik dikenal ada 4, yang
urutannya adalah sebagai berikut :
1) Informed concent
2) Negosiasi
3) Persuasi
4) Komite etik
Informed
concent merupakan butir yang paling penting, kalau informed concent gagal, maka
butir selanjutnya perlu dipergunakan secara berurutan sesuasi dengan kebutuhan.
Informed
concent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien/walinya yang berhak
terhadap bidan untuk melakukan suatu tindakan kebidanan terhadap pasien sesudah
memperoleh informasi lengkap dan yang dipahaminya mengenai tindakan itu.
Ada dua dimensi dalam proses
informed concent :
a.
Dimensi yang menyangkut hukum
dalam hal
ini informed concent merupakan perlindungan bagi pasien terhadap bidan yang
berperilaku memaksakan kehendak, dimana proses informed concent sudah memuat :
1. Keterbukaan informasi dari bidan
kepada pasien
2. Informasi
tersebut harus dimengerti pasien
3.
Memberikan kesempatan kepada pasien untuk memberikan
kesempatan
yang baik
b.
Dimensi yang meyangkut etik
Dari proses informed concent terkandung nilai etik sebagai berikut :
1.
Menghargai kemandirian/otonomi pasien
2.
Tidak melakukan intervensi melainkan membantu pasien
bila dibutuhkan/diminta sesuai dengan informasi yang telah dibutuhkan
3.
Bidan menggali keinginan pasien baik yang dirasakan
secara subjektif maupun sebagai hasil pemikiran yang rasional
Alur yang senantiasa berurutan, pada tahap pertama
bidan dengan pasien dihubungkan dengan suatu dialog, forum informasi
(informed), kemudian terjadi pilihan (choice) dan pengambilan keputusan.
Terdapat 2 keluaran pengambilan keputusan:
1.
Menyetujui
sehingga menandatangani form persetujuan
2.
Menolak
dengan menandatangani form penolakan.
Sehingga
baik persetujuan maupun penolakan sebaiknya dituangkan dalam bentuk tertulis,
jika terjadi permasalahan, maka secara hukum bidan mempunyai kekuatan hukum
karena mempunyai bukti tertulis, jika terjadi permasalahan, maka secara hukum
bidan mempunyai kekuatan hukum karena mempunyai bukti tertulis yang menunjukkan
bahwa prosedur pemberian informasi telah dilalui dan keputusan ada di tangan
klien untuk menyetujui atau menolak. Hal ini sesuai dengan hak pasien untuk
menentukan diri sendiri, yaitu pasien berhak menerima atau menolak tindakan
atas dirinya setelah diberi penjelasan sejelas-jelasnya.
Pelaksanaan
informed consent cukup sulit terbukti masih ditemukan beberapa masalah yang
dihadapi oleh pihak bidan atau rumah sakit atau rumah bersalin, yaitu:
1.
Pengertian
kemampuan secara hukum dari orang yang akan menjalani tindakan, serta siapa
yang berhak menandatangani surat persetujuan dimana harus ditentukan peraturan
mengenai batas usia, kesadaran, kondisi mentalnya dan sebagainya. Sampai sejauh
mana orang yang sedang merasa kesakitan, seperti misalnya ibu inpartu mampu
menetapkan pilihan atau berkonsentrasi terhadap penjelasan yang diberikan.
Apakah orang dalam keadaan sakit mampu secara hukum menyatakan persetujuan.
2.
Masalah wali
yang sah. Timbul apabila pasien atau ibu tidak mampu secara hukum untuk
menyatakan persetujuannya.
3.
Masalah
informasi yang diberikan yaitu seberap jauh informasi dianggap telah dijelaskan
dengan cukup jelas, tetapi juga tidak terlalu terinci sehingga dianggap
menakut-nakuti.
4.
Dalam
memberikan persetujuan, apakah diperlukan sanksi, apabila diperlukan apakah
sanksi tersebut perlu menandatangani formulir yang ada. Bagaimana menentukan
sanksi.
5.
Dalam
keadaan darurat, misalnya kasus perdarahan pada ibu hamil, dan keluarganya
belum dapat dihubungi, dalam keadaan seperti ini siapakah yang berhak
memberikan persetujuan, sementara pasien perlu segera ditolong. Bagaimana
perlindungan hukum kepada si bidan yang melakukan tindakan atas dasar keadaan
darurat dan dalam upaya penyelamatan jiwa ibu dan janinnya.
Akhirnya
bahwa manfaat informed consent adalah untuk mengurangi keadaan malpraktek dan
agar bidan lebih berhati-hati dan alur pemberian informasi benar-benar
dilakukan dalam memberikan pelayanan kebidanan.
F. Contoh
Informed Consent Dalam Tindakan Persalinan
Bidan Praktek Swasta................
Alamat.......................................
Telp...........................................
Kode Pos...................................
Telp...........................................
Kode Pos...................................
PERSETUJUAN TINDAKAN
PERTOLONGAN PERSALINAN
Nomor:........
Saya yang bertanda tangan di bawah
ini:
Nama :
Tempat/Tinggal
Lahir :
Alamat :
Kartu
Identitas :
Pekerjaan :
Selaku
individu yang meminta bantuan pada fasilitas kesehatan ini, bersama ini
menyatakan kesediaannya untuk dilakukan tindakan dan prosedur pertolongan
persalinan pada diri saya berikan setelah mendapat penjelasan dari bidan yang
berwenang di fasilitas kesehatan tersebut diatas, sebagaimana berikut ini:
1.
Diagnosis kebidanan..............................................................................
2.
Untuk melakukan pertolongan persalinan, perlu
dilakukan
tindakan...............................................................................................
3.
Setiap tindakan kebidanan yang dipilih bertujuan untuk
kesejahteraan dan keselamatan ibu dan janin. Namun demikian, sebagaimana telah
dijelaskan terdahulu, setiap tindakan mempunyai resiko, baik yang telah diduga
maupun yang tidak diduga sebelumnya.
4.
Penolong telah pula menjelaskan bahwa ia akan berusaha
sebaik mungkin untuk melakukan tindakan pertolongan persalinan dan
menghindarkan kemungkinan risiko, agar diperoleh hasil asuhan kebidanan yang
optimal.
5.
Semua penjelasan tersebut diatas, sudah saya maklumi
dan dijelaskan dengan kalimat yang jelas dan saya mengerti sehingga saya
memaklumi arti tindakan atau asuhan kebidanan yang saya alami. Dengan demikian
terjadi kesalah pahaman diantara pasien dan bidan tentang upaya serta tujuan,
untuk mencegah timbulnya masalah hukum dikemudian hari.
Apabila dalam keadaan dimana saya tidak mampu untuk
memperoleh penjelasan dan memberi persetujuan maka saya menyerahkan mandat
kepada suami atau wali saya yaitu:
Nama :..........................................
Tempat/Tanggal Lahir :..........................................
Alamat
:..............................................
Kartu Identitas :..............................................
Pekerjaan
:..............................................
Demikian agar saya maklum, surat persetujuan ini saya
buat tanpa paksaan dari pihak manapun dan agar dapat dipergunakan sebagaimana
mestinya.
...............................,.................
Bidan Yang Memberi Persetujuan Pasien
(............................) (...............................)
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Informed
concent merupakan butir yang paling penting, sebagai bukti persetujuan ataupun
penolakan terhadap tindakan yang akan dilakukan.
Melalui
Informed concent sesuai dengan hak pasien untuk menentukan diri sendiri, yaitu
pasien berhak menerima atau menolak tindakan atas dirinya setelah diberi
penjelasan sejelas-jelasnya. baik klien maupun keluarga merasa dilibatkan dalam
penentuan pengambilan keputusan. Sehingga baik persetujuan maupun penolakan
sebaiknya dituangkan dalam bentuk tertulis, jika terjadi permasalahan, maka
secara hukum petugas kesehatan mempunyai kekuatan hukum karena mempunyai bukti
tertulis, yang menunjukkan bahwa prosedur pemberian informasi telah dilalui dan
keputusan ada di tangan klien untuk menyetujui atau menolak.
B. Saran
Demi
memajukan keterampilan dan pengetahuan seorang bidan, harus terus meningkatkan
pengetahuan dan keterampilannya dalam berbagai aspek agar dapat membuat
keputusan klinis dan secara teoritis agar dapat memberikan pelayanan yang aman
dan memuaskan kliennya. Maka informed consent harus di lakukan kepada
klien sebagai persetujuan klien atas tindakan yang akan dilakukan atas dirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Quo Vadis Kliniko Mediko Legal Indonesia dan Buku
Penyelenggaraan Praktik Kedokteran Yang Baik di Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar